Laporan Pers , Fahdi Fahlevi
, JAKARTA – Gerakan Pendidikan Indonesia menggelar “Konferensi Pendidikan Indonesia Timur” pada 24-25 September 2024 di Gedung Kemendikbudristek, Senayan, Jakarta.
Konferensi tersebut mempertemukan para guru dari NTT, Maluku hingga Papua yang telah berkecimpung dalam pendidikan anak usia sekolah.
Kabupaten Rote Ndao, salah satu penggiat pendidikan Sevrin, berbagi pengalamannya membangun gerakan 1.000 buku untuk suatu daerah di Provinsi NTT.
“Kami memulainya pada 2012 dan memulai dengan gerakan yang disebut gerakan 1.000 jilid untuk Rote Ndao,” jelas Sevrin.
Gerakan ini telah berkembang cukup untuk membangun lebih dari 30 taman bacaan.
Dalam prosesnya, anggota yang berpartisipasi memimpin kampanye melalui Facebook dan menerima dukungan komunitas.
Menurut Sevrin, banyak orang yang mendonasikan buku-buku yang masih layak dibaca. Alhasil, minat anak-anak terhadap taman baca semakin meningkat.
“Berawal dari gerakan 1.000 buku Rot Ndao, FB (FB), kami mendorong masyarakat yang menggunakan buku untuk menyumbangkan buku bekas.
Kemudian Sevrin menjelaskan bahwa gerakan ini selalu berjalan meskipun ada tantangan.
Dalam kasus yang sama, Maria Regina Jaga, salah satu penggiat pendidikan Kabupaten Timor Tengah Selatan, mengatakan kemajuan pendidikan di TTS masih buruk.
Banyak anak memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan karena berbagai alasan, termasuk faktor ekonomi.
“Anak-anak TTS seperti itu. Seperti anak-anak Sabu Rai Jua, wilayah Wah Bagus wilayah Wah Bagus, sampai Indonesia merdeka 77 tahun, kita masih punya jalan tanah. Ada,” jelasnya .
Inja menjelaskan, perkembangan pendidikan di Indonesia terus berkembang, apalagi dengan tuntutan dunia yang mengglobal menggunakan teknologi.
Menurutnya, ini merupakan tantangan serius dalam merumuskan metode pembelajaran TTS dalam keterbatasan yang ada.
“Saya menggunakan permainan tradisional yang masih saya pegang sampai sekarang. Namanya permainan Shikidoka. Permainan Shikidoka mungkin juga ada di Indonesia bagian barat,” jelasnya.
Kemudian dia mengatakan bahwa dia tidak kesulitan menggunakan metode ini.
Hal ini tidak lepas dari kemampuan dan daya tangkap anak yang masih membutuhkan bimbingan terus menerus.
Namun dia menjelaskan bahwa dia tidak pernah menyerah pada tantangan itu.
Melalui cara bermain tradisional tradisional, anak secara bertahap dapat menguasai setidaknya bahasa Inggris yang terkait dengan pengenalan bahasa sehari-hari dan sekitarnya.(*)