JAKARTA – Penjabat presiden G20 oleh Indonesia menjadi momen penting untuk membahas strategi penguatan sektor kesehatan dan digitalisasi untuk pembangunan masa depan negara.
Pengalaman pandemi Covid-19 membuka pemahaman semua pihak untuk mengakselerasi dua sektor penting tersebut.
“Jadi G20 harus mempertajam komitmen bersama kita untuk mengembangkan industri kesehatan, karena semua orang ingin fair dan adil. Karena dibutuhkan kolaborasi, baik itu dari segi pendanaan, standardisasi, sumber daya manusia, hingga keterlibatan pemerintah dan kontribusi global,” ujar John Riady, Direktur Eksekutif Lippo Group.
Mengutip data survei World Economic Forum (WEF), John mencatat ada tiga risiko yang paling dikhawatirkan pengusaha. Pertama, tingkat penyebaran infeksi penyakit secara global, mengingat saat ini interaksi antar negara semakin gencar.
“Pola ini memungkinkan krisis kesehatan memicu krisis multidimensi lainnya.”
Hal ini terkait dengan risiko krisis sumber pendapatan masyarakat. Keterkaitan global mau tidak mau memiliki ancaman berupa ketimpangan sumber daya manusia dan sumber pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja.
Kedua, krisis iklim. Perubahan iklim yang ekstrim mempengaruhi produktivitas pangan, menimbulkan krisis lingkungan lainnya, serta menimbulkan berbagai bencana alam. Ketiga, keamanan siber. Digitalisasi yang memfasilitasi itu ternyata rawan interferensi dan berdampak cepat dalam skala besar.
Menurut John, tiga risiko besar yang ditakuti para pengusaha itu kini tengah menjadi perbincangan di forum G20, di mana Indonesia sebagai presidennya.
“Ini momentum bagi Indonesia untuk mengajak seluruh pemangku kepentingan global membangun masa depan yang lebih baik, karena G20 mewakili 60 persen populasi dunia, 80 persen PDB global.”
Menurut John, pada awalnya risiko yang paling mengkhawatirkan membutuhkan kerja sama global serta pemerintah dan sektor swasta untuk memperkuat sektor kesehatan. Apalagi, lanjutnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga telah menyerukan arsitektur baru untuk kesehatan dunia.
“Arsitektur ini bertujuan agar kerjasama dalam peningkatan kualitas, standardisasi dan pembiayaan dapat dikolaborasikan secara global. Saya kira untuk negara dengan jumlah penduduk produktif yang relatif tinggi, Indonesia masih tertinggal dalam belanja kesehatan,” ujarnya.
Hal ini, lanjutnya, erat kaitannya dengan tingkat ekonomi masyarakat. Kurang dari 3,1 persen PDB untuk belanja kesehatan, rasio tempat tidur rumah sakit dengan jumlah tenaga kesehatan dan dokter, masih tertinggal.
Oleh karena itu, menurut dia, diperlukan keterlibatan yang luas dari semua pihak untuk meningkatkan sektor kesehatan.
“Ini adalah sektor strategis, di mana di masa pandemi ini kita melihat ketahanan sektor kesehatan hampir putus, sedangkan pembangunan manusia ke depan tidak lepas dari sektor kesehatan. Industri kesehatan harus diperkuat dalam hal investasi dan staf profesional.”
Selama ini, sektor industri kesehatan, salah satunya rumah sakit, semakin mengukuhkan fondasi untuk memperluas pelayanan kepada masyarakat. Misalnya, produsen rumah sakit berencana untuk memperkirakan pengeluaran modal yang besar untuk membangun fasilitas baru dan menambah tempat tidur.
Isu penting lainnya dalam momentum G20 adalah proyek digitalisasi. Dua risiko terbesar yang menjadi perhatian seperti yang disurvei oleh WEF adalah keamanan siber dan krisis iklim.
John menilai risiko keamanan siber dapat diatasi sembari mengembangkan dan mengoptimalkan ekosistem digital. Pertama, simpulnya, pengembangan dan optimalisasi digital mendorong kesempatan yang luas dalam pembukaan lapangan kerja termasuk pakar keamanan siber sekaligus memonetisasi potensi sektor informal, serta munculnya kebutuhan profesi baru bagi generasi muda.
Selain itu, arah pengembangan ekonomi digital kelak akan menolong Indonesia berkompetisi dalam pasar yang ditentukan oleh kemajuan teknologi informasi seperti sekarang.
“Indonesia merupakan negara dengan unicorn terbanyak di Asean, dengan valuasi yang tumbuh sangat cepat,” kata John.
Peranan ekonomi digital ini, jelasnya, bisa diarahkan sebagai motor pertumbuhan baru. Selama ini, pertumbuhan ekonomi nasional disokong oleh sektor komoditas dan pertambangan yang semakin lama menghadapi banyak ganjalan karena dituduh sebagai penyebab rusaknya lingkungan dan perubahan iklim.
Laporan Wartawan , Sanusi